Ki Gede Sebayu
Darah bangsawan mengalir di nadi Ki Gede Sebayu. Ia berakar pada Batara Katong—Syech Sekar Delima, sang Adipati Wengker Ponorogo—dan lahir dari rahim Pangeran Onje, penguasa Purbalingga. Namun masa kecilnya bukan dalam gemerlap istana, melainkan dalam asuhan seorang sepuh penuh kebijaksanaan: Ki Ageng Wunut.
Di pangkuan sang kakek yang tekun menekuni agama, Sebayu kecil ditempa oleh doa dan keteladanan. Dari tutur yang lembut dan laku yang khusyuk, ia belajar arti kerendahan hati. Dari lantunan ayat dan wejangan sunyi, ia tumbuh menjadi pribadi yang ramah, santun, dan berjiwa teduh.
Ketika usia dewasa menjemput, ayahnya mengantarkannya ke Keraton Pajang. Sultan Hadiwijaya menyambutnya, dan Sebayu diangkat sebagai prajurit tamtama. Di sana ia menyelami ilmu keprajuritan, menekuni kanuragan, dan menimba wibawa seorang kesatria. Pedang dan tombak menajamkan geraknya, tetapi nilai luhur yang diwariskan leluhur tetap menjadi penuntun batinnya.
Namun, roda sejarah berputar. Ketika Arya Pangiri naik takhta di Pajang, Sebayu memilih menjauh. Ia melangkah meninggalkan keraton, meniti jalan baru menuju Desa Sedayu. Bukan sekadar perjalanan jasmani, tetapi juga ziarah ruhani, mengantarnya pada takdir besar yang telah menanti.
Di sesa Sedayu, ia dikaruniai dua putra-putri:
Raden Ayu Rara Giyanti Subhaleksana—yang kelak menjadi permaisuri Ki Jadug, Pangeran Purbaya—dan Raden Mas Hanggawana, penerus darah perjuangan.
Selanjutnya, Sebayu bersama para pengikutnya menapaki jalan menuju Desa Taji. Di sana, ia disambut hangat oleh Ki Demang Karang Lo, lalu menziarahi makam ayahanda di Purbalingga, seakan menautkan kembali tali kasih antara anak dan leluhur.
Namun jiwa Sebayu bukan jiwa yang ingin berdiam. Ia menoleh ke arah barat, menyusuri pantai utara. Tekadnya bulat: mbabat alas, membuka tanah, menegakkan tatanan, membangun masyarakat di tlatah Tegal. Kehendak besar itu disambut dengan kerelaan Ki Gede Wonokusumo, yang melihat sinar kepemimpinan terpancar dari dirinya.
Di tanah Tegal, Sebayu menyalakan suluh peradaban. Ia susun strategi, ia tata rakyat, hingga terbitlah kemajuan yang tak hanya menghidupi, tetapi juga memakmurkan.
Ia menempatkan pengikut sesuai kepandaian: ada yang menjadi pandai besi, ada yang tekun menenun, ada yang ahli emas, ada pula yang menekuni pertanian.
Ia membuka persawahan dengan irigasi, membangun bendungan Kaligung—yang dikenal sebagai Bendungan Wangan Jimat—serta mengalirkan air melalui Kali Jembatan, Kali Biruk, dan Kali Wadas di Dukuh Kemangen, tempat yang disebut Grujugan Kali Mas.
Ia dirikan masjid dan pesantren di Dukuh Pesanten, agar rohani rakyat terisi cahaya.
Ia memberi nama pada tanah sesuai maknanya: Danawarih, yang berarti sumber pemberi air; Slawi, tempat para satria berjumlah dua puluh lima berkumpul—nama yang kelak menjadi pusat kekuasaan Tegal.
Atas keberhasilan dan kearifannya, pada tahun 1601 Masehi, atau 1523 Caka, Ingkang Sinuwun Kanjeng Senopati Mataram mengangkatnya sebagai Juru Demung, penguasa tlatah Tegal, dengan pangkat Tumenggung setara Bupati. Sejak itu, Sebayu bukan sekadar seorang tokoh, melainkan cikal bakal pemimpin, panutan dengan kharisma yang menyejukkan, membangun dengan tulus dan ikhlas, menjiwai semangat masyarakat Tegal.
Demikianlah sekelumit kisahnya. Semangat Ki Gede Sebayu tak pernah padam. Dari masa lalu hingga kini, api itu tetap menyala, menjadi semboyan yang mengilhami:
 
     
 
 
 
