Mantu Poci: Pesta Jiwa dari Tanah dan Harapan
Di tanah Tegal yang berhawa panas, ada sebuah upacara yang lahir dari kesabaran dan doa: Mantu Poci. Bukan pengantin dari daging dan darah, melainkan sepasang poci tanah—periuk yang disucikan oleh harapan. Keduanya berdiri bersanding di pelaminan, sebesar dada bumi yang menampung rindu, dihias bunga melati yang semerbak, seolah alam ikut menghadiri pernikahan simbolik itu.
Mantu Poci bukan sekadar pesta. Ia adalah ungkapan batin dari pasangan suami istri yang telah lama menunggu buah hati, sebuah doa yang dijelmakan menjadi perayaan, tempat cinta diuapkan menjadi kidung gamelan. Layaknya pesta perkawinan manusia, orang-orang datang berduyun-duyun — ratusan, bahkan ribuan. Mereka membawa tawa, sajian, doa, dan amplop sumbangan yang diletakkan di kotak berbentuk rumah, seolah turut membangun harapan bagi rumah tangga yang menua tanpa tangis bayi.
Namun, di balik riuh pesta itu, tersimpan makna yang dalam:
bahwa mantu poci bukan sekadar meminta, melainkan merasakan diri telah menjadi orang tua, yang melepas anak-anak tanahnya dalam pesta simbolik — sebuah penghiburan bagi hati yang tetap ingin memberi kasih, walau belum memiliki yang dikasihi.
Tradisi ini dipercaya lahir sekitar tahun 1930-an, di pesisir Tegal: Tegalsari, Muarareja, Tunon, Cabawan, dan Margadana. Kala itu, poci dihias dengan melati, diarak keliling kampung seperti pengantin sejati, kemudian diletakkan di kursi berhias kain, diapit oleh pasangan yang punya hajat. Upacara berlangsung tiga hari berturut-turut, penuh kesungguhan dan tata krama adat.
Dalam keyakinan warga, sumbangan bukan sekadar benda;
ia adalah ikatan moral dan rasa, catatan timbal-balik yang dijaga. Barang siapa tak hadir atau lupa membalas pemberian, akan menanggung sanksi batin — bukan karena harta, melainkan karena harmoni sosial yang terputus.
Selain Mantu Poci, dikenal pula Sunatan Poci.
Sama dalam semangat simboliknya, hanya ujung poci dibalut kain putih —
lambang kesucian dan awal perjalanan baru.
Kini, Mantu Poci jarang terdengar di tanah asalnya. Namun jejaknya masih hidup di pentas dan kenangan. Pada tahun 2003, Dewan Kesenian Kota Tegal menghadirkan lakon “Kang Daroji Mantu Poci” di Anjungan Jawa Tengah, Taman Mini Indonesia Indah — komedi yang menertawakan keseriusan tradisi, tapi juga memuliakan maknanya. Dua dekade berselang, pada 22 Juni 2019, lakon itu dihidupkan kembali oleh Teater RSPD Tegal,
di bawah arahan Yono Daryono, dan menorehkan penghargaan:
Sutradara Terbaik dan Pemeran Utama Terbaik (Mamerh Suwargo).
Kemudian, 30 Agustus 2019, pementasan itu kembali berdenyut di panggung Taman Budaya Tegal — sebuah perayaan kecil bahwa tradisi tidak mati, ia hanya berganti wadah, dari tanah liat menjadi ingatan.
Mantu Poci adalah kisah manusia yang berdoa melalui benda. Sebuah seni sederhana dari hati yang rindu:
mereka yang menanam harapan pada tanah, dan menuai doa dalam bentuk pesta.
Sebab di Tegal, cinta tak selalu berwujud anak; kadang ia menjelma poci — tanah, air, dan doa yang disatukan oleh waktu.

 
     
 
 
 
