Sejarah Objek Wisata Pemandian Air Panas Guci
Pernahkah Anda mendengar tentang Objek Wisata Pemandian Air Panas Guci?
Jika belum, datanglah ke Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Guci adalah sebuah desa di Kecamatan Bumijawa, terletak di kaki Gunung Slamet, sekitar 27 kilometer di selatan Kota Slawi. Di tempat yang berhawa sejuk ini, Anda akan menemukan pemandian air panas alami, air terjun, taman-taman indah, serta kebun stroberi yang bisa Anda petik sendiri.
Namun, di balik keindahan alamnya, Guci menyimpan sejarah panjang dan kisah spiritual yang menarik untuk disimak.
Asal-usul Desa Guci
Sekitar tahun 1767, hiduplah seorang bangsawan dari Keraton Demak Bintoro bernama Raden Aryo Wiryo. Ia dikenal sebagai sosok bijak, namun hatinya diliputi kejenuhan akibat kehidupan keraton yang penuh intrik, perebutan tahta, dan konflik antarsaudara. Karena tak lagi menemukan ketenangan, Raden Aryo Wiryo memutuskan meninggalkan keraton bersama istrinya, Nyai Tumbu.
Perjalanan mereka membawanya mengabdi ke Keraton Mataram pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyokrokusumo, bahkan sempat ditugaskan ke Cirebon. Setelah itu, beliau kembali mengembara hingga suatu hari menapakkan kaki di lereng utara Gunung Slamet. Di tempat yang masih hening dan alami itu, ia menetap dan membuka lahan permukiman pertama. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Kampung Keputihan, karena dianggap sebagai wilayah yang masih “suci” dan belum tersentuh pengaruh luar.
Pertemuan dengan Penyebar Islam
Tak lama kemudian, datanglah seorang pengembara dari Pesantren Gunungjati, yaitu Kyai Elang Sutajaya, salah satu santri dari Sunan Gunungjati (Syech Syarif Hidayatullah). Beliau datang untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah itu. Raden Aryo Wiryo dan para pengikutnya pun berguru kepada Kyai Elang Sutajaya untuk memperdalam keimanan mereka.
Pada masa itu, Kampung Keputihan dilanda wabah pageblug—tanah longsor, penyakit kulit, dan berbagai bencana alam. Kyai Elang Sutajaya mengajak warga bermunajat kepada Allah SWT melalui sebuah ritual yang kini dikenal sebagai Ruwat Bumi. Dalam upacara tersebut, warga menyembelih kambing kendit dan mempersembahkan hasil bumi kepada fakir miskin sebagai bentuk sedekah dan doa keselamatan. Tradisi ini masih dilakukan hingga kini, setiap bulan Muharam.
Guci Sakti dan Penemuan Pancuran 13
Pada saat ritual berlangsung, dikisahkan Sunan Gunungjati berkenan hadir secara ghaib dan memberikan sebuah Guci Sakti. Air dari guci itu diperintahkan untuk diminum oleh warga yang sakit dan dipercikkan di sudut kampung untuk mengusir wabah. Ketika Raden Aryo Wiryo dan Kyai Elang Sutajaya berkeliling menaburkan air suci tersebut, mereka menemukan sumber air panas di bawah sebuah gua — yang kini dikenal dengan nama Pancuran 13.
Sejak saat itu, Kampung Keputihan berangsur pulih. Sebagai penghormatan atas guci sakti pemberian Sunan Gunungjati, nama kampung pun diubah menjadi Desa Guci. Guci sakti tersebut kemudian disimpan di Dukuh Engang, tempat Raden Aryo Wiryo biasa bertapa, dan kini diketahui tersimpan di Museum Nasional setelah dipindahkan pada masa Adipati Cokroningrat dari Brebes.
Kyai Klitik dan Pemandian Kesepuhan
Untuk berbaur dengan masyarakat dan menghindari perhatian penjajah Belanda, Raden Aryo Wiryo mengganti namanya menjadi Kyai Ageng Klitik, atau dikenal pula sebagai Kyai Klitik. Ia menemukan beberapa sumber air panas lain, yang kini disebut Pemandian Kesepuhan dan Pengasihan.
Konon, Pemandian Kesepuhan dahulu digunakan untuk penjamasan (pembersihan) pusaka keris Kyai Klitik agar “pamor”-nya menjadi sepuh. Sementara itu, Pemandian Pengasihan digunakan untuk memandikan pusaka berpamor welas asih. Kini, kedua tempat tersebut menjadi pemandian umum yang diyakini berkhasiat bagi kesehatan kulit, tulang, dan hajat tertentu.
Legenda dan Jejak Spiritual
Setelah Guci semakin ramai, datang pula seorang pertapa bernama Mbah Segeong, yang kemudian menetap di dalam sebuah gua yang kini dikenal sebagai Gua Segeong.
Di sisi lain, Kyai Elang Sutajaya sering bermeditasi di atas bukit yang kala itu banyak dihuni warak (badak). Tempat itu kemudian dinamakan Kandang Warak, yang kini menjadi nama sebuah dukuh di sebelah timur Desa Guci, yakni Dukuh Pekandangan.
Penemuan sumber air panas kemudian diteliti dan dinyatakan aman, hingga pada tahun 1974 dibuka sebagai pemandian umum. Saat itu, fasilitasnya masih sederhana dan alami — para pengunjung mandi langsung di bawah gua sumber air panas.
Masyarakat setempat percaya bahwa kawasan tersebut juga dijaga oleh Dayang Nyai Rantensari, seorang penguasa wilayah air panas dan sungai di utara Gunung Slamet, yang dianggap sebagai utusan Nyai Roro Kidul. Di Pancuran 13 bahkan terdapat patung naga yang melambangkan kekuatan gaib penjaga sumber air tersebut.
Guci Kini dan Warisan Leluhur
Hingga kini, Desa Guci dan Dukuh Pekandangan di Desa Rembul masih menjadi kawasan wisata yang menyimpan nilai sejarah dan misteri spiritual peninggalan para wali penyebar Islam.
Di sekitar kawasan ini juga terdapat petilasan Kyai Mustofa, seorang ulama keturunan Sunan Gunungjati yang hidup pada masa cucu Kyai Klitik. Beliaulah yang menamai air terjun di atas Pancuran 13 dengan nama Curug Serwiti, karena di sana banyak burung serwiti. Di atasnya, terdapat Curug Jedor, air terjun indah yang asal-usul namanya masih menjadi misteri hingga kini.
Demikianlah sejarah Desa Guci, tanah yang lahir dari perpaduan spiritualitas, legenda, dan alam yang suci — kini menjadi salah satu objek wisata unggulan Jawa Tengah, tempat di mana keindahan dan kisah leluhur berpadu dalam kesejukan udara pegunungan.
 
     
 
 
 
